I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Belakangan beredar berita tentang kebijakan pemerintah yang akan membatasi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) terutama premium untuk kalangan pengguna sepeda motor. Kebijakan yang diambil pemerintah ini tak lain dan tak bukan adalah karena dilatarbelakangi oleh program konversi minyak tanah ke gas yang telah berjalan dengan baik. Kemudian rencana pembatasan subsidi BBM inilah tindak lanjut dari program konversi tersebut yang kali ini adalah konversi penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor dari premium ke pertamax, yang sebagaimana kita ketahui pertamax adalah salah satu Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak disubsidi oleh pemerintah sehingga harga pertamax sangat mahal yakni berkisar antara Rp 7.350 – Rp 7.400 per liter. Harga tersebut jika dibandingkan dengan harga premium (bensin) memang terbilang cukup jauh, yakni untuk sementara pada tahun 2010 ini harga premium masih berkisar antara Rp 4.500/liter (Harga SPBU atau harga resmi) sampai dengan Rp 5.000/liter (Harga Eceran). Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang baru tahap rencana ini dan mungkin akan segera diujicobakan pada bulan Agustus 2010 mendatang. Yang lebih mengherankan adalah keputusan pemerintah yang akan melarang kendaraan bermotor roda dua untuk mengonsumsi bahan bakar bersubsidi jenis premium secara bertahap di Pulau Jawa (Solopos, 27 Mei 2010). Walau hal tersebut untuk saat ini masih dalam tahap rencana tetapi jika hal tersebut benar – benar terealisasi, maka akan banyak pihak yang merasa dirugikan dari kebijakan tersebut.
I.2. Tujuan
Bagaimana memberikan “warna populis” terhadap kebijakan yang sebenarnya “tidak populis” adalah salah satu kelihaian rezim neoliberal. Di sini kita perlu memblejeti dan menggugat keputusan pembatasan BBM bersubsidi dengan alasan penghematan APBN, karena tidak tampak usaha yang serius dari pemerintah membatasi pengeluaran anggaran negara untuk membayar utang luar negeri, atau pengeluaran untuk belanja para pejabat di berbagai tingkatan.
II. PEMBAHASAN
Keberadaan BBM bersubsidi dipersoalkan sebagai bentuk pemborosan anggaran negara yang dalam pandangan ini sudah sewajarnya dihapuskan. Pemerintah mengeluhkan kenaikan jumlah anggaran untuk subsidi BBM sampai sekitar 2 sampai 3 triliun rupiah akibat “pembengkakan” konsumsi tahun 2010. Keluhan ini tampak menjadi suatu paradoks, ketika di sisi lain kebijakan pemerintah justru terus saja mendukung peningkatan penjualan atau kredit kendaraan bermotor sebagai mesin pemakai energi BBM terbesar. Dalam kasus ini dapat terbaca, bahwa monopoli pemodal besar asing terhadap pemasaran kendaraan bermotor telah bersekongkol dengan monopoli para pemodal besar pada sektor energi atau perminyakan yang juga mayoritas dikuasai perusahaan raksasa asing (terutama perusahaan SPBU di sektor hilirnya) seperti Shell dan Petronas. Pertamina, yang selain dijadikan sapi perah para pejabatnya juga telah disulap menjadi perusahaan yang semata berorientasi profit, disinyalir tidak siap secara teknis melayani ‘konsumen’ dengan mekanisme penjualan yang akan diterapkan nanti.
III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan :
Beberapa pengamat menilai kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak efektif karena ini diterapkan bertahap menurut regional sehingga memungkinkan terjadinya kebocoran misalnya penyelundupan Premium antardaerah. Mengenai hal ini Djelani mengungkapkan bahwa hal tersebut sangat disadari pasti terjadi. Tapi Djaelani mengatakan bahwa hal itu hanya masalah psikologis dan terjadi pada awalnya saja. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pertamina menurut Djaelani akan menyediakan kantong-kantong BBM di perbatasan Jabodetabek.
Banyak kalangan berpendapat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi mekanismenya ruwet. Mereka menilai pemerintah lebih baik menaikkan harga BBM. Anggapan itu dan menegaskan sekali lagi bahwa tujuan utamanya adalah pemerataan. “Yang harus dicatat, tujuannya bukan untuk mengurangi subsidi tapi agar subsidi tepat sasaran. Kita tidak naikkan karena posisinya akan seperti ini lagi (25 % dinikmati orang berpendapatan tinggi, 15 % golongan berpendapatan rendah. pen.). Kalau menaikkan harga, semua juga ikut naik dong. Rakyat kecil dengan pendapatan rendah bisa kena dampaknya kan ? Jadi semua nggak asal.
Pihaknya menyadari bahwa nanti di awal diberlakukannya kebijakan ini pasti ada masyarakat yang ribut dan menolak. Namun ia menganggap hal itu normal. “Kita sebagai pemrintah tidak boleh putus asa dengan tantangan. Kami melihatnya itu sebagai tantangan,” ungkapnya. Ia juga menyatakan pemerintah akan mengadakan 5 Pokja: regulasi, sosialisai, sosial, dan ekonomi, yang bertujuan agar kebijakan itu tidak menjadi ribet di lapangan.
Salah satu implikasi, jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini diterapkan, persaingan SPBU akan semakin ramai. Pertamina akan mendapat ancaman serius dari SPBU asing, seperti Shell, Petronas, dan Total. Selama ini, SPBU-SPBU asing kurang diminati konsumen karena hanya menjual produk BBM beroktan tinggi yang relatif mahal. Sehingga konsumen kebanyakan masih membeli premium bersubsidi yang relatif murah di SPBU milik Pertamina. Para konsumen yang selama ini menjadi pelanggan Pertamina diprediksi akan beralih pada SPBU-SPBU asing.
0 komentar:
Posting Komentar