BLOGGER TEMPLATES AND Formspring Backgrounds »

Jumat, 23 September 2011

tugas ke-1 Analisis Jurnal 3


Nama             : Dewi Listianingsih/15209885
Kelas              : 3ea11
MK                 : Metode Riset
 

Program Pemerintah untuk Mengatasi Krisis Air Bersih
Program Pemerinta untuk mengatasi krisis air bersih terdiri dari :
1.      Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan .

I.                   Latar Belakang masalah
Pembentukan Kelompok Kerja ini didasari pada pemikiran bahwa pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan tidak hanya terkait pada satu bidang tertentu tetapi harus merupakan kesatuan dari beberapa aspek, yaitu aspek teknis, kelembagaan, pembiayaan, sosial dan lingkungan hidup. Berdasarkan pemahaman itulah maka dibentuk Kelompok Kerja Air Minum Dan Penyehatan Lingkungan, yang terdiri dari departemen-departemen terkait, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan Departemen Kesehatan serta dikoordinasikan oleh Bappenas.
            Selain terkait dengan kegiatan Proyek Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ( Proyek WASPOLA, WSLIC-2, Pro-Air, CWSH, SANIMAS ), Kelompok Kerja juga terlibat pada penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Saat ini baru diselesaikan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat dan sedang dalam tahap penyusunan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga ataupun kegiatan uji coba penerapan kebijakan di daerah dan kegiatan kampanye publik mengenai air minum dan penyehatan lingkungan, yang ditempuh melalui kegiatan penyusunan jurnal air minum dan penyehatan lingkungan, pembuatan poster ataupun komik.
 Diharapkan keanggotaan Kelompok Kerja ini semakin meluas sehingga kegiatan yang dilakukan pun semakin beragam dalam rangka peningkatan aksesibilitas masyarakat akan air minum dan penyehatan lingkungan. Selain itu diharapkan pola-pola kerjaasama ini dapat direplikasikan di daerah ( baik propinsi dan kabupaten/kota) sehingga kegiatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik.
·         Pelaksanaan Program Kelompok Kerja AMPL
 Water and Sanitation for Low Income Communities Project (WSLIC) II
            Banyak penduduk perdesaan masih tergantung pada sumber air minum tradisional. Padahal sumber air itu tak jarang lokasinya sulit di jangkau, debitnya tak mencukupi pada saat air kering, kualitasnya belum memenuhi syarat untuk di konsumsi secara langsung, dan jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan masyarakat desa.
 Kondisi yang buruk itu menjadi hambatan yang sangat besar bagi wanita dan anak- anak karena waktunya tersita untuk mendapatkan air bagi keperluan mencuci, memasak, dan minum. Selain itu, banyak keluarga berpengasilan rendah dan berada di lokasi terpencil membuang kotorannya di tempat terbuka atau sungai. Kebiasaan buruk ini sering menimbulkan terjangkitnya penyakit diare atau lainnya ke masyarakat yang sama – sama menggunakan mata air tersebut.
 Proyek WSLIC-1 telah berlangsung pada tahun 1993-1999 untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Dari hasil studi dampak kesehatan terhadap pembangunan sarana air minum dan sanitasi lainnya terlihat adanya penurunan tingkat penyakit diare hingga sepertiganya. Namun proyek WSLIC-1 menghadapi kendala kerumitan penyaluran admistrasi keuangan. Proyek ini diluncurkan kembali dengan WSLIC-2 yang berakhir pada 2006. Total dana yang disediakan untuk proyek kedua ini sebesar 106 juta dolar AS dari IDA (World Bank), pemerintah Australia melalui AusAID ditambah dana masyarakat.
·        Tujuan
 Poyek ini bertujuan meningkatkan status kesehatan, produktivitas serta kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah melalui perubahan perilaku, pelayanan kesehatan berbasis lingkungan, penyediaan air minum dan sanitasi yang aman, cukup dan mudah dijangkau, berkesinambungan dan efektif melalui partisipasi masyarakat.
Metode yang digunakan adalah PHAST ( Participatory Health and Sanitation Transformation/Tranfomasi hidup bersih dan sanitasi dengan menggunakan metode partisipatori.). Metode ini didasari oleh metodologi partisipatif lain yakni SARAR (percaya tanggung jawab).
 Dengan metode tanggap kebutuhan tersebut masyarakat terlibat dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai pemeliharaan. Masyarakat menentukan sendiri pilihan teknologi sarana yang akan dibangun. Kegiatan mereka didanai oleh hibah desa yang berasal dari Bank Dunia dan Pemerintah daerah yang mencakup 80 persen dari total pembiayaan. Selebihnya dari konstribusi masyarakat berupa 4 persen tunai, dan 16 persen barang dan tenaga ( in-kind ).
 Hingga Agustus 2003, tercatat ada 870 desa yang masuk terdaftar terpilih, yang sedang berproses ada 779 desa, yang sudah menandatangani kontrak ada 387 desa. Sedangkan yang sudah selesai melaksanakan proyek sebanyak 221 desa. Dua ribu desa ditargetkan terlibat proyek WSLIC-2 hingga 2006.
·        Sumber Dana
 Total dana yang disediakan untuk proyek WSLIC-2 ini sebesar 106 juta dolar AS dari IDA (World Bank), pemerintah Australia melalui AusAID ditambah dana masyarakat.
·         Lokasi
 Proyek ini dilaksanakan di tujuh propinsi yakni Jawa Timur, Nusa Tengara Barat, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Bangka – Belitung, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Pemilihan propinsi ini di dasarkan kriteria:tingkat terjangkitnya penyakit diare, tingkat kemiskinan, dan tingkat pelayanan air bersih dan sanitasi.
·         Laporan Kegiatan WSLC II di Desa Pakel Kabupaten Lumajang
 Pada tanggal 13 September 2004, Pokja AMPL diundang oleh Pengelola Proyek WSLIC 2 untuk meninjau ke Kabupaten Lumajang yang merupakan salah satu daerah yang dianggap berhasil dalam melaksanakan proyek WSLIC 2.
Beberapa hasil yang mengesankan misalnya pertambahan pemilikan jamban yang memenuhi syarat sangat menggembirakan. Pada awal proyek (Maret 2004) hanya 15 KK yang memiliki jamban, yang kemudian bertambah menjadi 133 KK di akhir proyek (Agustus 2004). Selain itu, desa ini juga berhasil menjadi salah satu pemenang lomba desa sehat. Kondisi sekolah SD yang kami kunjungi juga terlihat bersih dan dilengkapi dengan peralatan cuci tangan.
·        Kelanjutan program WSLIC II
 Pada tanggal 4 Juni 2007, telah dilakukan pertemuan persiapan (kick off meeting) untuk pelaksanaan supervisi WSLIC 2 (Second Water and Sanitation for Low Income Communities) tahap kesepuluh. Pertemuan berlangsung di Gedung D Lt. IV Ditjen PPPL, Depkes, yang dihadiri 33 peserta yang berasal dari: Bappenas, PU, Depkes, Depdagri (PMD/Bangda), AusAID, World Bank, WSP-EAP, WASPOLA dan tim WSLIC sendiri.

II.                Masalah
Banyak penduduk perdesaan masih tergantung pada sumber air minum tradisional. Padahal sumber air itu tak jarang lokasinya sulit di jangkau, debitnya tak mencukupi pada saat air kering, kualitasnya belum memenuhi syarat untuk di konsumsi secara langsung, dan jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan masyarakat desa. Selain terkait dengan kegiatan Proyek Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ( Proyek WASPOLA, WSLIC-2, Pro-Air, CWSH, SANIMAS ), Kelompok Kerja juga terlibat pada penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Saat ini baru diselesaikan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat dan sedang dalam tahap penyusunan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga ataupun kegiatan uji coba penerapan kebijakan di daerah dan kegiatan kampanye publik mengenai air minum dan penyehatan lingkungan, yang ditempuh melalui kegiatan penyusunan jurnal air minum dan penyehatan lingkungan, pembuatan poster ataupun komik.
III.             Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui program apa saja yang dilaksanakan pemerintah untuk mengatasi krisis air bersih di Indonesia.

Daftar Pustaka:
Air dan Sanitasi untuk Kesehatan (Kompas 19 Maret 2008), 49
 Andi Iqbal Burhanuddin, Fenomena Pemanasan Global dan Dampaknya (22 Nov 2007) www.fajar.co.id
 Belum Semua Warga Menikmati Air Bersih (25 April 2007) www.suarapublik.org
 Brigita Isworo L., “Bom Waktu yang Terus Berdetik, ” (Kompas, 19 Maret 2008), 48
 Elok Diah Messwati, ”Sanitasi Buruk Ancam Kehidupan” (Kompas, 19 Maret2008), hal 45
 M. Aris Marfai, Krisis Air, Tantangan Manajemen Sumberdaya Air (Mar 09 2008 ) http://arismarfai.staff.ugm.ac.id/wp
 Privatisasi Air Ciderai Hak Rakyat http://www.adilnews.com
 Suara Pembaruan Daily, “Kerusakan Lingkungan Penyebab Utama Kekeringan”(14 Maret 2003) www.suarapembaruan.com
 Sri Hartati Samhadi, Sasaran Pembangunan Milenium: Terengah-engah Mengatasi Ketinggalan, Kompas (19 maret 2008), hal 47
 Suara Pembaruan Daily, “Kerusakan Lingkungan Penyebab Utama Kekeringan”(14 Maret 2003) www.suarapembaruan.com
http://www.ampl.or.id/
http://id.wikipedia.org/wiki/Air
http://distarkim.sundanet.com/index.php?a=7
http://diglib.ampl.or.id/detail/detail/php
http://www.kompasonline.com





tugas ke-1 Analisis Jurnal 2


Nama             : Dewi Listianingsih/15209885
Kelas              : 3ea11
MK                 : Metode Riset


Penyebab dan Dampak Krisis Air Bersih
I.       latar Belakang Masalah
Sebab-sebab Terjadinya Krisis Air Bersih
Adapun factor-faktor penyebab  terjadinya krisis air bersih,diantaranya dari factor :
1.      Perilaku manusia
2.      Kerusakan Lingkungan yang dikarnakan karena  : penggundulan hutan dan Global warming,Pencemaran air .
3.      Manajemen Pengelolaan Air yang Kurang Baik,karena :
* Kurangnya koordinasi antara institusi terkait,
* Buruknya Kinerja PAM/PDAM.

1.      Perilaku Manusia
Kodoatie dalam bukunya yang berjudul Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu mengungkapkan bahwa faktor utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak. Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial.
 Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip perlindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama.populasi yang terus bertambah dan sebaran penduduk yang tidak merata.
Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat pula sebagai implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tidak disertai dengan penyebaran yang merata sehingga menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.
2.    Kerusakan Lingkungan
-  Penggundulan Hutan
            Kerusakan lingkungan yang makin parah akibat penggundulan hutan merupakan penyebab utama kekeringan dan kelangkaan air bersih. Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan air (catchment area) telah rusak karena penebangan liar. Laju kerusakan di semua wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu maupun pencemaran di sepanjang DAS. Kondisi itu akan mengancam fungsi dan potensi wilayah sumber air sebagai penyedia air bersih.
 Berdasarkan data di Departemen Kehutanan hingga tahun 2000 saja diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.359 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi atau penanaman kembali yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.
 -  Global Warming
 Pemanasan global telah memicu peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan melelehnya es di gunung dan kutub, berkurangnya ketersediaan air, naiknya permukaan air laut dan dampak buruk lainnya. Seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi, tanah tempat di mana air berada juga akan cepat mengalami penguapan untuk mempertahankan siklus hidrologi. Air permukaan juga mengalami penguapan semakin cepat sedangkan balok-balok salju yang dibutuhkan untuk pengisian kembali persediaan air tawar justru semakin sedikit dan kecil. Ketika salju mencair tidak menurut musimnya yang benar, maka yang terjadi bukanlah salju mencair dan mengisi air ke danau, salju justru akan mengalami penguapan. Danau-danau itu sendiri akan menghadapi masalahnya sendiri ketika airnya tidak lagi membeku.
            Air akan mengalami penguapan yang jauh lebih lambat ketika permukaannya tertutup es, sehingga ada lebih banyak air yang tersisa dan meresap ke dalam tanah. Ketika terjadi pembekuan yang lebih sedikit, artinya semakin banyak air yang dilepaskan ke atmosfir. Maka, ketika gletser yang tersisa dari zaman es mencair semua, sungai-sungai akan kehilangan sumber air.
-Pencemaran Air
 Saat ini pencemaran air sungai, danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per hari, dan diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan pada pertanian (Unesco, 2003). Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga penyakit berkaitan dengannya.
Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare.
 Sungai-sungai di Pulau Jawa umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai itu merupakan sumber air bagi masyarakat, untuk keperluan mandi, cuci, serta sumber baku air minum olahan (PAM).
 Di Jakarta misalnya, dari hasil penelitian oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta pada 2006, 13 sungai yang mengalir melewati ibukota sudah tercemar bakteri Escherchia coli (E-coli). Bakteri yang berasal dari sampah organik dan tinja manusia ini juga mencemari hampir 70 persen tanah di kawasan ibukota, sehingga berpotensi mencemari sumber air tanah. Salah satu sungai yang tingkat pencemarannya paling parah adalah Sungai Ciliwung. Kadar bakteri E-coli pada sungai itu mencapai 1,6-3 juta individu per 100cc, jauh di atas baku mutu 2.000 individu per 100cc. Padahal sungai ini menjadi bahan baku air minum di Jakarta. Sedangkan penelitian lain menyebutkan, 76,2 persen dari 52 sungai di Pulau-pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar berat oleh zat organik, termasuk 11 sungai-sungai utama di Indonesia yang tercemar unsur amonium. Sungai-sungai yang mengalir di pulau Jawa, seperti Jakarta, cenderung lebih tercemar oleh bakteri E-coli akibat pencemaran tinja yang menyebabkan penyakit diare pada manusia.
3.     Manajemen Pengelolaan Air yang Kurang Baik
 - Kurangnya koordinasi antara institusi terkait
 Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab terhadap infrastruktur air, Departemen Dalam Negeri mengurusi pentarifan air, Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap konservasi sumber daya air, sedangkan masalah kualitas air oleh Departemen Kesehatan. Banyaknya institusi yang terlibat dan tumpang-tindihnya pengambilan kebijakan tentang air oleh berbagai departemen yang ada ditambah lagi dengan kurangnya koordinasi antara institusi tersebut menyebabkan kegagalan program pembangunan Indonesia di sektor air.
 - Buruknya Kinerja PAM/PDAM
 Air minum perpipaan sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Secara nasional, cakupan air perpipaan baru sekitar 17%, meliputi 32% di perkotaan dan 6,4% di perdesaan. Pada umumnya PDAM secara rata rata nasional mempunyai kinerja yang belum memenuhi harapan. Seperti tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%), konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT).
 Sebagian besar PDAM mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain).
 Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air, sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.175/m3.
 Fakta yang ada menunjukkan bahwa dari sekitar 400 PDAM yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya sekitar 10 persen yang dapat beroperasi dengan prima. Kondisi PDAM pada tahun 2007 adalah 80 perusahaan sehat, 116 kurang sehat, 139 sakit, dari total 335 PDAM. PDAM saat ini juga terbelit utang kurang lebih sekitar Rp 5,66 triliun. Selain kapasitas produksi nasional air yang belum terpenuhi, PDAM hingga kini masih mengalami masalah kebocoran air hingga 40-50 persen.
Dampak Krisis Air Bersih
Adapun factor-faktor dampak terjadinya krisis air bersih,diantaranya dari factor :
1.Dampak bagi Kesehatan,
2.Dampak bagi Ekonomi
1.      Dampak Bagi kesehatan
 Parahnya masalah ketersediaan air bersih ini menimbulkan masalah yang pelik pada sektor kesehatan. Seperti pada kasus yang terdapat di situs www.sinarharapan.com dikatakan bahwa pernah terjadi di Jakarta Utara, krisis air bersih mengakibatkan tujuh bayi tewas akibat diare. Kematian tujuh bayi tersebut berawal dari krisis air bersih. Orang tua para bayi tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya, kecuali dengan memanfaatkan air sumur. Kita sangat paham dengan kondisi air sumur di Jakarta.. Setidaknya ada 20-30 jenis penyakit
Jenis Penyakit & Langkah Perbaikan yang Perlu Dilakukan :
Cholera, Hepatitis, Polimearitis              : Peningkatan kualitas air bersih
 Typoid, Disentrin Trachoma, Scabies   : Peningkatan kuantitas dan kualitas air bersih
 Malaria, Yellow-fever                          : Peningkatan kualitas air bersih
 Penyakit Cacing                                               : Perbaikan sanitasi
Sebenarnya ada empat intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah diare, yaitu pengolahan air dan penyimpanan di tingkat rumah tangga, melakukan praktik cuci tangan, meningkatkan sanitasi, mengingkatkan penyediaan air. Setiap intervensi memiliki memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap diare. Data tahun 2006 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa:
 No. Intervensi Penurunan Angka Kejadian Diare
 1 Berbagai intervensi perilaku melalui modifikasi lingkungan 94%
 2 Pengolahan air yang aman dan penyimpanan di tingkat rumah tangga 39%
 3 Melakukan praktik cuci tangan yang efektif 45%
 4 Meningkatkan sanitasi 32%
 5 Meningkatkan penyediaan air 25%
2.      Dampak Bagi Ekonomi
 Krisis air bersih memberikan dampak pada bidang ekonomi. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia menetap di pulau jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia sementara potensi air yang dimiliki hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia. Dalam dua dasawarsa berikutnya diperkirakan air yang dipergunakan manusia akan meningkat 40 persen dan 17 persen lebih pasokan air dipergunakan untuk meningkatkan pangan dan populasi. Disisi lain kondisi sumber-sumber air semakin parah, khususnya di negara-negara miskin karena masalah pencemaran dan limbah. Oleh karena itu telah diserukan investasi dalam pengadaan air oleh AS dan membiarkan sektor swasta untuk menyediakan air atau privatisasi air. Permasalahan privatisasi air di Indonesia sekarang menjadi lebih rumit karena hampir semua Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) saat ini dalam kondisi tidak mampu membayar utang-utangnya. Dalam situasi seperti inilah, maka privatisasi air seolah-olah merupakan obat mujarab untuk membereskan masalah air bersih. Sekarang ini UU RI No.7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang didalamnya mengandung semangat privatisasi pengelolaan air telah disahkan. Pemerintah Daerah diminta mengupayakan sendiri pembiayaan pengelolaan air tersebut, atau dengan jalan mencari investor.

II.    Masalah
Adapun factor-faktor penyebab dan factor-faktor dampak terjadinya krisis air bersih. Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip perlindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama.populasi yang terus bertambah dan sebaran penduduk yang tidak merata. Berdasarkan data di Departemen Kehutanan hingga tahun 2000 saja diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.359 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi atau penanaman kembali yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.
III. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya krisis air di Indonesia. Yang pada umumnya masyarakat  tidak memahami prinsip perlindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan.

Tugas ke-1 Analisis Jurnal 1


Nama             : Dewi Listianingsih/15209885
Kelas              : 3ea11
MK                 : Metode Riset

Tema : Krisis Air Bersih Di Indonesia
Pengarang : Mandaazzahra
Tahun 2008.
Analisis Jurnal 1
Gambaran Umum Krisis Air Bersih di Indonesia

I.       latar Belakang Masalah
Berdasarkan data WHO (2000), diperkirakan terdapat lebih 2 milyar manusia per hari terkena dampak kekurangan air di lebih dari 40 negara didunia. 1,1 milyar tidak mendapatkan air yang memadai dan 2,4 milyar tidak mendapatkan sanitasi yang layak. Sedangkan pada tahun 2050 diprediksikan bahwa 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih (Gardner-Outlaw and Engelman, 1997 dalam UN, 2003).
 Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk mencapai lebih 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus naik hingga 15-35 persen per kapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat (berkurang) akibat kerusakan alam dan pencemaran.
 Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara Pembaruan – 23 Maret 2007). Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada 82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan. Untuk persentase akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia lebih rendah daripada beberapa negara tetangga seperti Malaysia.
 Pada akhir PJP II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata 65% dan untuk produksi pangan naik 100%.
 Pada tahun 2000, untuk berbagai keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378 miliar meter kubik air bersih. Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air tanah maupun air permukaan hanya 30,569 miliar meter kubik. Ia mengingatkan, pada tahun 2015 krisis air di Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena diperkirakan kebutuhan air akan melonjak menjadi 164,671 miliar meter kubik. Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung menurun.
Dibawah ini ada dua contoh kasus krisis air bersih di yang terjadi di perkotaan dan di pedesaan:
 Contoh Kasus Krisis Air Bersih di Perkotaan
 Pertengahan Februari 2007, warga di kawasan Jakarta Utara mengeluhkan kenaikan harga air yang gila-gilaan. Seperti dilaporkan sejumlah media, harga air bersih di sebagian wilayah Jakarta Utara naik sampai lima kali lipat dari harga sebelumnya. “Dulu harga per gerobak (isi 6 jeriken) hanya 10 ribu. Sekarang naik jadi 50 ribu,” ujar Sukirman, warga RT 02 Kelurahan Rawa Badak Jakata Utara. Kelangkaan dan kenaikan harga air gerobakan itu terjadi akibat terputusnya aliran PAM.
 Kelangkaan air di sejumlah Kelurahan Jakarta Utara itu menimpa Rawa Badak, Sungai Bambu, dan Kebon Bawang. “Saya mohon pemerintah memerhatikan masalah air bersih ini. Kalau terlalu lama (air PAM) berhenti, warga tidak tahan. Kami sudah menderita karena banjir, sekarang untuk mendapatkan air bersih saja susahnya setengah mati,” ujar seorang ibu asal Flores di Kelurahan Rawa Badak.
 Contoh Kasus Krisis air bersih di Pedesaan
 Di Kampung Legok Pego di Desa Drawati, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Warga disana kebanyakan menampung air hujan dari atap rumah ke dalam jeriken-jeriken plastik untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.
 Menurut Kepala Dusun VI Desa Drawati Emen Suparman, kesulitan yang dihadapi warga kampung Legok Pego bukan hanya kelangkaan air. Infrastruktur yang buruk ditambah lokasi yang terpencil menyebabkan warga kesulitan mengakses sarana pendidikan dan kesehatan. Kepala Dusun menambahkan, dulu ada sembilan mata air yang terletak di perbukitan dan bisa mengalirkan air saat kemarau. Tapi sekarang, mata air itu berhenti mengalir. Warga yang membutuhkan air bersih harus berjalan kaki sejauh 3,5 kilo meter ke mata air terdekat. Sampai sekarang dinas sosial Kabupaten Bandung masih mencari cara menolong warga desa Drawati.
 Dua cuplikan peristiwa tadi menunjukkan krisis air atau ancaman kelangkaan air di Indonesia memang betul-betul ada.
II.    Masalah
Berdasarkan data WHO ( 2000 ),diperkirakan terdapat lebih 2 milyar manusia per hari terkena dampak kekurangan air di lebih dari 40 negara didunia. 1,1 milyar tidak mendapatkan air yang memadai dan 2,4 milyar tidak mendapatkan sanitasi yang layak.Dan pada tahun 2050 diprediksikan bahwa 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih (Gardner-Outlaw and Engelman, 1997 dalam UN, 2003). Karena ketersediaan air bersih cenderung melambat (berkurang) akibat kerusakan alam dan pencemaran.
III. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran krisis air di Indonesia yang hingga sekarang masih melanda Negara kita .